Bangladesh, pressind.com — Perdana Menteri Bangladesh Sheikh Hasina kemarin mengundurkan diri dan kabur ke luar negeri.
Perdana Menteri Bangladesh Sheikh Hasina kemarin mengundurkan diri kemudian kabur ke luar negeri menyusul gelombang unjuk rasa anti-pemerintah yang berujung tewasnya ratusan warga.
Sumber militer dan pejabat di Komisi Tinggi Bangladesh di New Delhi, India membenarkan Hasina, 76 tahun, telah meninggalkan Ibu Kota Dhaka menuju “tempat yang lebih aman”.
Laporan BBC menyebutkan helikopter yang membawa Hasina pergi tengah menuju India.
Dilansir Middle East Eye, Senin (5/8), media setempat melaporkan ribuan massa menyerbu kediaman Hasina setelah dia mengundurkan diri. Sehari sebelumnya aparat keamanan menindak keras para demonstran hingga menewaskan sedikitnya 95 orang dan ratusan lainnya luka.
Situasi kian memanas bulan lalu ketika mahasiswa mulai turun ke jalan memprotes keputusan sistem kuota untuk 30 persen lowongan kerja pegawai negeri sipil dibagikan kepada keluarga para pejuang kemerdekaan setelah Bangladesh merdeka dari Pakistan pada 1971.
Selama bertahun-tahun, putra bahkan cucu dari para pejuang kemerdekaan mendapat perlakuan istimewa, begitu pula kelompok etnis minoritas dan warga berkebutuhan khusus. Jumlah mereka bahkan mencakup 56 persen posisi di instansi pemerintah.
Banyak kalangan menilai sistem kuota itu secara langsung menguntungkan Hasina dan partainya Liga Awami yang berperan besar dalam kemerdekaan Bangladesh dan sudah berkuasa sejak 2009.
Generasi muda Bangladesh mengatakan sistem itu penuh dengan korupsi dan membuat kalangan lain tidak bisa menjadi pegawai negeri. Sejumlah pengamat menilai sistem kuota itu sebagai imbalan atau jatah bagi mereka yang loyal kepada Hasina.
Pada 2018 pemerintah akhirnya mencabut aturan kuota itu setelah didemo mahasiswa. Namun pada Juni lalu pengadilan memutuskan aturan itu kembali berlaku setelah keluarga veteran mengajukan petisi. Keputusan itu memicu gelombang demonstrasi mahasiswa.
Aturan baru itu berarti peluang untuk menjadi pegawai negeri semakin menipis di tengah krisis pengangguran yang berlarut-larut.
Dengan 18 juta angkatan usia muda, warga Bangladesh makin sulit mendapat lapangan pekerjaan. Sistem kuota membuat para lulusan baru yang mengharapkan pekerjaan mapan menjadi geram.
Pekan lalu kelompok Mahasiswa Penentang Diskriminasi yang menggalang demo melawan sistem kuota kembali turun ke jalan. Mereka menuntut Hasina meminta maaf dan para menteri segera mundur, termasuk para rektor universitas.
Kapan kekerasan mulai meningkat?
Perlawanan mahasiswa terhadap keputusan pengadilan tinggi dimulai pada awal Juli dan semakin meningkat ketika Hasina menyamakan mahasiswa dengan kaum “razakars”, sebutan bagi mereka yang bersekongkol dengan tentara Pakistan di masa perang kemerdekaan Bangladesh. Sebutan ini memicu kebencian terhadap mahasiswa.
Puncaknya pada 16 Juli aparat kepolisian menyerang demo mahasiswa di Universitas Dhaka. Sedikitnya 100 orang terluka dalam kejadian itu.
Sehari kemudian aparat keamanan mulai memburu mahasiswa dari kampus ke kampus di seantero negeri. Enam mahasiswa kemudian tewas.
Selama dua hari pasukan paramiliter, termasuk unit kontraterorisme dikerahkan ke jalan. Polisi melepaskan peluru karet, granat kejut, dan gas air mata untuk membubarkan massa mahasiswa.
Pemerintahan Hasina merespons demo mahasiswa dengan memutus akses Internet, menerapkan jam malam, dan perintah tembak di tempat bagi mereka yang melawan.
Pada 19 Juli sedikitnya 19 orang terbunuh. Pada akhir pekan baru ketahuan korban tewas ternyata lebih dari 100 jiwa.
Di tengah saluran komunikasi yang diputus, sejumlah laporan menyebut jumlah korban tewas justru jauh lebih banyak.
Pada 4 Agustus setelah unjuk rasa sempat mereda dan jumlah korban tewas mendekati angka 100, demonstrasi kembali memanas hingga menuntut Hasina mundur.